Office Boy
Sebuah cerita tentang seorang pria muda yang baru menikah, memulai pekerjaan pertamanya sebagai office boy (OB) di sebuah bank. Pauji namanya. Ia mendapatkan pekerjaan tersebut atas rekomendasi paman nya yang punya kenalan ‘orang dalam’ di bank itu. Jarak tempat tinggal dengan kantor nya lumayan jauh. Rumah Pauji di daerah Cibubur, sedangkan tempat kerja nya berlokasi di Grogol. Jarak yang jauh ini tidak bisa ditempuh dengan satu kali naik angkutan umum. Berhubung Pauji belum punya motor, Ia harus ngongkos dua kali naik bus untuk sekali perjalanan.
Pauji bekerja normal 8 jam sehari, dan jelas datang harus lebih pagi dibanding pegawai kantor dan bos nya. Layaknya OB, Pauji mengurusi kebersihan kantor dan melayani kebutuhan pegawai kantor semisal menyiapkan kopi, membelikan makanan, dll. Saat nganggur, sering Pauji gunakan untuk duduk duduk sambil merokok. Merokok saja. Dalam sehari, sebungkus rokok bisa ia habiskan. Pauji memang perokok menengah, atau mungkin tergolong perokok berat. Ia sudah mulai merokok sejak SMA. Kalau untuk kenal rokok, mungkin sudah kenal dari kecil karena lingkungan yang mengenalkannya.
Ketika jam makan siang, Pauji dan banyak pegawai lainnya keluar kantor untuk membeli makanan. Di kantor, tidak banyak yang bawa bekal makan siang sendiri. Padahal, seisi kantor rata-rata sudah berkeluarga. Sarapan pun, sebagian pegawai juga membeli di dekat kantor. Mungkin istri-istri mereka ngga sempat membuatkan bekal makan siang ataupun sarapan. Pauji juga tak jarang membawa sarapan yang dibeli nya di dekat rumah. Tetap saja beli namanya.
Pauji belum bisa bergaya hidup sederhana. Costs yang ia keluarkan setiap harinya terbilang besar jika disesuaikan dengan salary nya sebagai OB. Kadang-kadang, makan siang Pauji tidak jauh berbeda dengan menu makan siang para officer dan assistant manager. Sekali pesan, daging/ikan plus plus menjadi menu pilihannya. Bisa ditebak kisaran harga seporsi makan siang Pauji.
Hidup Pauji tidak wajar. Dalam sebulan, Pauji menafkahi istri nya kurang dari 50 persen gaji nya. Jika dalam sebulan gaji Pauji sebesar Rp 1,5 juta, maka 22% nya ia telan sendiri untuk rokok yang harga per bungkus nya kira-kira Rp 11 ribu/hari selama sebulan. Transportasi juga tetap menjadi biaya hidup pribadi nya, karena Pauji bekerja di tempat yang jauh dan butuh akses angkot lebih dari satu kali. Ongkos Rp 10 ribu sehari dikali 25 hari kerja sudah memangkas 17% lagi. Belum lagi makan siang Pauji yang kadang-kadang boros itu juga mengambil porsi 25% dari gajiannya. Pada kesimpulannya, istri dan rumah kontrakan Pauji hanya menerima sisa gaji Pauji yang high cost itu.
Cerita ini hanya contoh kecil dari banyaknya masyarakat kelas kecil dengan upah standar yang ‘gaya’ dengan gaya hidupnya. Kurangnya pendidikan dan kesadaran diri membawa mereka kepada kelompok yang tidak bisa maju kualitas hidupnya. Bagaimana tidak, rokok bisa menjadi kebutuhan primer personal yang merugikan individu lain. Merokok tidak membuat seseoarang dapat ‘tambahan’ apa-apa, malah menjadi beban hidupn yang harus dihitung secara cermat. Selain itu, gaya makan kelompok ini yang kadang-kadang ‘semau hati’ juga menjadi persoalan. Sudah tau masyarakat kecil, berkeluarga, dapat upah minimum regional saja tanpa tambahan, tapi ngga mau makan hemat. Padahal, untuk mereka yang hidup standar ini, harusnya membiasakan diri makan biasa yang penting perut terisi. Dengan ketidaksadaran itu semua, kelompok masyarakat ini akan sulit keluar dari kekurangan. Dan, jika ada hal-hal mendesak di kehidupannya, kualitas hidupnya jelas akan turun level dan menjadi orang miskin.
Komentar
Posting Komentar